Rabu, 19 Agustus 2020

 

Amalan Setara Pahala Haji

Allah Maha Pemurah, diantara refleksi sifat Maha Pemurah Allah, Allah mensyariatkan  amal-amal yang ringan dikerjakan namun pahalanya (balasan kebaikannya) berlipat ganda, baik di dunia maupun di akhirat. Dengan amal-amal ini, kita sebagai umat manusia yang ditakdirkan Allah memiliki usia yang pendek, rata-rata antara 60-70 tahun bisa mengoptimalkan usia kita untuk mendapatkan balasan kebaikan dari Allah yang berlipat ganda. Diantara amal-amal ringan tapi berpahala besar adalah amal-amal yang pahalanya setara dengan pahala ibadah haji dan umrah. Amalan-amalan tersebut diantaranya:


1. KELUAR DARI RUMAH MENUJU SHALAT FARDHU DI MASJID DALAM KONDISI SUDAH BERSUCI
.
Dari ABu Umamah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Barang siapa keluar dari rumahnya dalam keadaan suci untuk menunaikan shalat fardhu, pahalanya seperti pahala haji orang berihram." (Shahih: Shahih Abu Dawud, no 558)

2. SHALAT BERJAMA'AH DI MASJID KEMUDIAN DUDUK BERDZIKIR SAMPAI TERBIT MATAHARI LALU SHALAT 2 RAKA'AT


مَنْ صَلَّىالْغَدَا ةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِحَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ قَالَ قَالَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ   
Dari Anas bin Malik, Rasulullah s.a.w bersabda, " Barangsiapa Shalat Subuh berjamaah lalu duduk berdzikir (mengingat) Allah sampai terbit matahari kemudian shalat 2 raka'at, maka baginya pahala seperti pahala haji dan umrah yang sempurna, sempurna, sempurna." (Hasan: Shahih At-Tirmidzi, no. 480, 586; Shahih At-Targhib wa AT-Tarhib, no. 464; Ash-Shahihah, no. 3403)(Dishahihkan oleh Al-Albani). Dalam hadits lain, dari Abu Umamah dan 'Utbah bin 'Abd, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa shalat Subuh dalam sebuah masjid secara berjama'ah lalu tinggal di dalamnya hingga ia Shalat Dhuha, maka ia mendapatkan pahala seperti pahalanya orang haji dan umrah yang sempurna haji dan umrahnya." (Hasan li ghairihi: Shahih At-Targhib wa At-Tarhib, no. 469).

Dalam hadits-hadits diatas, Rasulullah menyebutkan dzikir secara umum. Masuk dalam dzikir adalah ta'lim/kajian Islam. Selain lebih banyak faedahnya karena mempelajari ilmu syar'i, juga karena lebih meringankan jiwa yang terkadang malas berdzikir sendiri dalam waktu yang cukup lama.

 

3. MEMPELAJARI ATAU MENGAJARKAN KEBAIKAN DI MASJID

Dari Abu Umamah, Nabi saw bersabda," Barangsiapa pergi ke masjid, dia tidak menginginkan kecuali mempelajari suatu kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya pahala seperti pahala orang haji sempurna hajinya.". Dalam riwayat lain dengan redaksi, "Barangsiapa berangkat di pagi hari menuju masjid, ia tidak menginginkan kecuali untuk mempelajari suatu kebaikan atau mengajarkannya, maka baginya pahala orang yang melaksanakan umrah dengan umrah yang


sempurna. Dan barangsiapa berangkat sore hari menuju masjid, ia tidak menginginkan kecuali mempelajari suatu kebaikan atau mengajarkannya, maka ia mendapatkan pahala orang yang naik haji dengan haji yang sempurna."(Hasan Shahih: Shahih At-Targhib wa AT-Tarhib no 82).

Perlu diketahui, pahala ini bisa didapat dengan syarat, pelaku sebelum masuk ke dalam masjid, di perjalanan menuju masjid, atau masih dirumah, haruslah berniat untuk mempelajari atau mengajarkan kebaikan. Nabi dalam hadits diatas tidak menetapkan durasi waktu tertentu.

4. MELAKSANAKAN SHALAT FARDHU BERJAMA'AH DAN SHALAT DHUHA DI MASJID

Dari Abu Umamah, Rasulullah s.a.w bersabda," Barangsiapa berjalan menuju berjama'ah sholat wajib, maka dia seperti berhaji. Dan barang siapa berjalan menuju shalat tathawwu'(sunnah) maka dia seperti berumrah yang nafilah (istilah lain sunnah)." (Hasan: Shahih Al-Jami' no. 6556), dalam hadits yang lainnya, Rasulullah bersabda," Barangsiapa keluar dari rumahnya dalam keadaan sudah bersuci untuk shalat fardhu maka pahalanya seperti pahala orang haji yang berihram, Dan barangsiapa keluar shalat Dhuha dia tidak bermaksud kecuali itu, maka pahalanya seperti pahala orang yang berumrah. Dan shalat sesudah shalat yang tidak ada perbuatan sia-sia di antara keduanya diyulis di kitab 'Illiyyin."( Shahih: Shahih Sunan Abu Dawud, no. 522;Shahih Al-Jami' no. 6228)

 

Itulah beberapa amalan yang pahalanya setara dengan pahala orang yang sedang berhaji dan berumrah. Perlu diingat, amal-amal ini tidak bisa menggugurkan kewajiban berhaji dan berumrah. Orang-orang yang telah mengerjakan amal-amal ini tetap wajib melaksanakan ibadah haji dan umrah. Al-Munawi dalam Al-Faidh Al-Qadiir jilid 6 hal. 228, "makna mendapat pahala haji atau mendapat pahala seperti pahala haji, tetapi tidak harus sama persis." Maka, amal-amal yang berpahala seperti/setara pahala haji dan umrah itu tidak menghapus kewajiban haji dan umrah.

 

Seandainya amal-amal itu bisa mengganti kewajiban haji dan umrah atas setiap muslim, maka tidak akan ada orang yang melaksanakan haji dan umrah sejak zaman Nabi Muhammad. Nabi Muhammad yang mensosialisasikan amal-amal tersebut saja tetap melakukan haji dan umrah, demikian juga para pengikut beliau yang setia. Maka sebuah bid'ah dan kesesatan jika seseorang yang tidak berhaji dan berumrah dengan alasan telah beramal dengan amal-amal berpahala seperti pahala dan haji.

 

Selasa, 11 Agustus 2020

 Makna Qadha dan Qadar dalam Kehidupan Manusia. (Konsep Kausalitas dalam Islam)


By. Idrus Abidin.

Sebelumnya telah disinggung posisi tengah Ahlu Sunnah, khususnya kalangan Atsariyah dalam tema qadha dan qadar ini. Namun, secara singkat, setelah memahami asma wa sifat versi Atsariyah, ditemukan tahapan takdir berikut :

1. Keyakinan penuh bahwa Allah mengetahui segala sesuatu sebelum berwujud secara real di dunia nyata. Inilah konsekwensi nama Allah al-Aliim (maha mengetahui). Pengetahuan yang mencakup semua masa; lalu, sekarang dan yg akan datang. Juga mencakup semua tempat dan semua makhluk.  Bahkan, pengetahuan itu diwujudkan dalam sebuah progres 50.000 tahun sebelum kejadian.

2. Pencatatan semua perencanaan kejadian di papan khusus yang terjaga (Lauh Mahfudz) dengan baik di sisiNya. Hal ini berdasarkan firman Allah di QS al-An'am  ayat 38, Yasin  ayat12, az-Zukhruf ayat 4, al-Buruj ayat 22 dll. 

3. Kehendak Allah yang pasti terjadi, tanpa batasan apapun. Semua kehendakNya pasti terjadi. Semua yang tidak diinginkan pasti tak terjadi. Kejadian dan semua peristiwa di semesta ini takkan bisa terjadi tanpa izinNya. Inilah yang ditolak para pengingkar taqdir dari kalangan Qadariah. 

4. Penciptaan segala sesuatu dengan penetapan sejumlah ketetapan (taqdir). Ini ditentang pula oleh Qadariah. Argumentasi mereka, perbuatan makhluk yang bersifat pilihan ditentukan sendiri oleh mereka; bukan ketentuan Allah. Ahlu Sunnah meyakini, manusia dan potensi perbuatan mereka diciptakan oleh Allah. Sedang pemberdayaan potensi perbuatan tersebut tetap perbuatan manusia sendiri sesuai izin dan perkenaan Allah Ta'ala. Jadi, muslim menjadi muslim karena izin dan Taufik dari Allah setelah mereka berusaha untuk itu sesuai dengan perintah Allah. Karena ini perintah Allah yg dilakukan dengan ikhlas; Allah pun ridha dengan perbuatan-perbuatan tersebut. Sedang kafir menjadi kafir karena izin Allah tanpa taufikNya. Karena kekafiran dilarang dan dibenci oleh Allah. Makanya, diizinkan sekaligus dibenci Allah. Diizinkan sebagai bentuk pemberian kebebasan terbatas sekaligus sebagai ujian yang akan membuktikan keaslian dan Trac record manusia; apakah mereka memilih kebaikan atau dengan sadar memilih keburukan. 

Terkait masalah ketetapan takdir, terdapat beberapa bentuk :

A. Hidayah yang bersifat umum untuk semua Mukallaf berupa akal, kecerdasan, pengetahuan mendasar (fitrah). 

B. Hidayah berupa petunjuk umum yang dianjurkan oleh para nabi dengan berbekal kitab suci. 

C. Hidayah Taufik yang bersifat spesifik untuk kalangan beriman. Inilah tangga awal hidayah pribadi.

D. Hidayah akhirat berupa surga Allah taala.

Tingkatan hidayah ini berurutan sedemikian rupa. Jika yang pertama bermasalah, tentu susah untuk berlanjut ke tahap berikutnya. Hidayah berupa taupik hingga masuk surga bukanlah otoritas manusia. Mereka, hanya bisa berusaha dan berdoa tanpa punya kemampuan menjamin terjadinya hidayah Taufiq, karena hal itu murni di bawah otoritas mutlak Allah Ta'ala. Di sini, kelompok Qadariah merasa, manusialah yang memilih sendiri semua itu, termasuk hidayah Taufiq dan hidayah masuk surga. Naudzubillah dari gagal paham seperti ini. 

Ahlu Sunnah tetap meyakini perlunya melakukan usaha maksimal sekalipun mereka meyakini ketetapan takdirNya. 

5. Adanya kemudahan dari Allah sesuai pilihan manusia. Jika memilih petunjuk, Allah akan memudahkan mereka melaksanakan perintah yang potensial menyampaikan mereka ke surga. Bagi yang memilih penyimpangan, hal itu akan memudahkan mereka menuju neraka. Semua dimudahkan sesuai pilihan mereka masing-masing. Bahkan, karena pengetahuan Allah menyeluruh, Allah pun sudah mengetahui siapa penduduk surga dan penduduk neraka; sebelum manusia tercipta. Tapi pengetahuan Allah tersebut tidak menghilangkan kebebasan manusia. Seperti langit dan bumi yang mengitari manusia dan mereka tidak mungkin bisa keluar darinya. Tapi, bumi dan langit sendiri tidak pernah memaksa manusia berdosa atau taat kepada Allah. Manusia tetap berada pada frekwensi kebebasan dan pilihan mereka masing-masing.
 

Dilema Kelompok Menyimpang.

1. Qadariyah.

Mereka menolak ketetapan taqdir. Bahkan sebagian mereka menafikan pengetahuan Allah yang bersifat azali. Tidak menerima Lauh Mahfudz yang memuat ketetapan takdir sebelum terciptanya langit dan bumi 50.000 sebelumnya. Mereka menyangka manusia bebas secara mutlak dengan kemampuan menentukan sendiri hidayah Taufiq dan masuk surga untuk dirinya sambil berkata, kebaikan dari Allah sedang keburukan dari pihak lain (selain Allah). Dengan ini mereka seperti Majusi yang menyakini adanya 2 otoritas ketuhanan; tuhan cahaya dan tuhan kegelapan. Mereka juga menafikan hidayah khusus Allah kepada orang beriman dengan meyakini bahwa hidayah itu sama saja bagi mukmin maupun kafir. Mereka juga berkata, Allah tidak mampu memberi hidayah kepada orang-orang tersesat, tidak bisa menyesatkan orang-orang yang sudah beriman. Naudzubillah. 

Pendapat Qadariyah inilah yang diadopsi oleh beberapa UIN di Indonesia melalui tokoh-tokoh Muktazilah plus seperti Harun Nasution dan jaringannya. Ulil Abshar dan semua pengasong liberalisme Islam. Termasuk Abdul Aziz, penulis Disertasi seputar hubungan seksual halal di luar jalur pernikahan. Dikemas dengan penelitian akademik, bahasa ilmiah santun hingga mengecoh umumnya Ahlu Sunnah di Indonesia. Mereka termuktazilahkan tanpa sadar karena terkesima oleh istilah mentereng rasionalitas, ilmiah, progresif, dll. Padahal, itu semua penyimpangan yang berbaju akademik. Bahkan, dalam batas-batas tertentu, kekafiran yang dipakaikan istilah-istilah Islam. Untunglah, lewat lembaga studi pemikiran Insist, penyimpangan tersebut dikritisi secara ilmiah dan dikembalikan kepada rel yang benar. Walillahilhamd. 

Catatan :

Sebuah pelajaran penting yang perlu dikembangkan dalam dunia dakwah adalah, kebenaran bisa tertolak karena kesalahan cara dan metode penyampaian. Sementara keburukan bisa digandrungi karena metode yang tepat. Syi'ah termasuk memanfaatkan hal ini dengan taqiyah. Sementara ahli Sunnah Atsariyah sudah tepat secara pemikiran, hanya saja dikotori oleh sikap melampaui batas (ghuluw). Ujungnya merasa paling benar dan seolah mengkapling surga. Label bid'ah disebar secara serampangan. Akibatnya, kebenaran tertutupi oleh egoisme. Tidak siap menerima kebenaran dari kelompok lain; bahkan sekalipun sesama Ahlu Sunnah. Alhamdulillah, kelompok demikian tidak dominan. Walaupun suara mereka nyaring, senyaring toko liberal seperti Ulil Abshar dan Ade Armando. Masih dominan kelompok ahli Sunnah Atsariyah yang tetap santun seperti umumnya kalangan Al-Irsyad, Wahdah Islamiah, dll. Sikap over kepedean tentu tercela di manapun kelompok mereka berafiliasi. Karenanya Rasulullah mengarahkan potensi penyimpangan seperti demikian dari anak muda yang qiyamullail tanpa waktu tidur. Ibadah tanpa mau menikah. Puasa tanpa mau berbuka. Karena semua itu ketidakseimbangan yang menyalahi sikap moderat Islam. 

2. Jabariyah.

Adalah kelompok yang menyatakan manusia tidak punya pilihan. Semuanya telah ditetapkan oleh takdir Allah; dosa maupun taat. Tidak dibedakan antara wilayah pilihan manusia atau hal yang memaksa. Mereka itulah pengikut Jahmiah (Jaham bin Safwan).

Posisi Tengah Ahlu Sunnah.

Ahlu Sunnah berposisi moderat dengan membatasi kebebasan manusia pada wilayah usaha. Sementara masalah seputar hidayah taufik dan hidayah surga diserahkan sepenuhnya kepada Allah. Manusia hanya bisa berdo'a setelah berusaha sekuat tenaga untuk mengikuti perintah Allah dan menjauhi laranganNya dengan modal keikhlasan. 

Faktor Utama Penyimpangan.

Dalam masalah takdir ini, yang menjadi pemicu utama kesalahan adalah ketidakmampuan kelompok Qadariah dan Jabariah membedakan kehendak Allah terhadap alam (iradah kauniyah) dan kehendak Allah yang bersifat ketetapan syari'at (iradah syar'iyyah). Mereka menyamakan antara kehendak mutlak Allah (iradah) dengan kecintaanNya (mahabbah). Atau dengan kata lain, mereka menyamakan kehendak (masyi'ah) dengan keridhaan Allah (ridha). Mereka pun mengira Allah tidak menghendaki kekafiran dan kemaksiatan dan sekaligus tidak senang padanya. Bagaimana mungkin, kata mereka, Allah menciptakan perbuatan manusia yang mengandung kekufuran dan kemaksiatan. Mereka meyakini, sikap tersebut sebagai upaya memahasucikan Allah dari kezhaliman. Padahal, sikap mereka itulah yang zhalim dalam memahami Allah. 

Sementara itu, kalangan Jabariah mengira Allah sang pencipta segala sesuatu sekaligus mencintai dan meridhai semua perbuatan; maksiat maupun taat. Ini juga akibat dari kegagalan memahami fakta sebenarnya dari al-Qur'an dan as-Sunnah. 

Catatan :

Setiap kelompok teologis merasa sedang memahasucikan Allah dengan sikap mereka masing-masing. Tapi, yang benar hanya yang sesuai dengan generasi terbaik; Rasulullah, sahabat dan kalangan tabi'iin. 

Dua Bentuk Kehendak Allah.

1. KehendakNya terhadap alam semesta (iradah kauniyah).

Yaitu kehendak mutlak Allah terhadap alam semesta tanpa ada pilihan bagi mereka untuk menolak. Di sini, tidak ada istilah taat dan maksiat. Tidak ada pula kaitannya dengan keridhaan dan kecintaanNya. Di sini yang penting adalah KehendakNya berupa masyi'ah. Karena Alam ini hanya perangkat yang tidak sedang dalam masa ujian keimanan, layaknya manusia dan jin. Inilah makna keimanan kita kepada qadha dan Qadar; yang baik maupun yang buruk. Itulah yang Allah kehendaki kepada kita. Kita hanya mengimaninya dan bersyukur jika baik serta bersabar jika buruk. 

2. KehendakNya berupa aturan syariat (agama).

Inilah ketetapan agama yang mengatur perintah dan larangan. Disinilah Kehendak Allah terkait dengan kecintaan (mahabbah) atau kemarahan (ghadab). Sekalipun Allah tidak menyukai kekafiran beserta semua turunannya, tidak berarti Allah tidak membiarkannya terjadi. Itu juga tidak berarti, pembiaran Allah terhadap kemaksiatan berarti ada sesuatu yang menghalangi KehendakNya. Tidak, Allah membiarkan maksiat terjadi sekalipun Dia tidak ridha, hanya sebatas pemberian kebebasan sementara dan terbatas selama manusia berada dalam lingkup ujian (dunia). Karena kalau tidak demikian, ibadah dengan sejumlah syaratnya tidak akan terwujud secara sempurna. Seperti, harapan dan rasa takut kepada Allah yang disertai kecintaan kepadaNya. Jika Allah tidak biarkan maksiat terjadi, maka dunia ini jadi surga; bukan lagi tempat ujian. Jika Allah mengadili ahli maksiat secara langsung tanpa jeda seperti sekarang; misalnya, bagi yang berdosa langsung tuli atau buta. Maka, manusia ibadah bukan lagi karena cinta, tapi murni karena rasa takut. Hilanglah keikhlasan yang menjadi substansi utama ibadah. Dengan hikmahNya, Allah biarkan maksiat terjadi sekalipun tidak senang agar Trac record keaslian manusia terlihat dengan jelas; mana yang taat dan siapa yang maksiat; dalam kebebasan mereka masing-masing. Sehingga neraka bagi yang menyimpang; pantas mereka peroleh. Sedang surga bagi yang taat; berhak mereka miliki. 

Kehendak inilah yang diinginkan Allah dari kita, sehingga kita harus taat melaksanakan perintah dan sabar menghindari larangan. Itulah tujuan dasar keberadaan manusia di bumi ini.

Efektivitas Iman Terhadap Qadha' dan Qadar. 

Dengan konsep keimanan seperti ini wujudlah sikap ketaatan penuh kepada Allah Ta'ala. Manusia menerima dg ikhlas semua perintah. Menghindari semua larangan dengan perasaan lapang dada. Mengesakan Allah dengan sejumlah nama dan sifatNya. Semua itu mewujudkan kebaikan ummat dan berpotensi menyatukan mereka dalam shaf kebenaran. Sekaligus menyelamatkan pribadi muslim dari jalur penyimpangan. 

Keimanan terhadap qadha' dan Qadar ini tampak sangat jelas pada diri manusia dalam hal tawakkal dan permohonan bantuan kepada Allah (isti'anah). Dan, sikap mereka yang sangat fokus demi meminta pertolonganNya (istigasah/isti'anah). Tatkala manusia menyadari bahwa semua kejadian di alam ini telah ditetapkan. Ajal sudah dibatasi, rezeki sudah terbagi. Dan bahwa mereka harus segera memenuhi pengarahan syari'at ilahi dalam melaksanakan perintah dan menjauhi semua bentuk larangan. Dunia yang serba sementara ini tidak lagi menipunya. Dia pun bersungguh sungguh melewati jalan jihad tanpa ragu. Dengan ucapan, syahid atau menang; Karena keduanya dambaan mukmin sejati. Modal keyakinan seperti inilah yang menggerakkan kaum muslimin melawan imperium Persia dan Romawi. Shaf-shaf jihad mereka tembus dan berkata kepada lawan, cinta kami kepada syahid melampaui cinta kalian kepada kehidupan. Ketika Ibnu Taimiyah mengomentari QS al-Insan ayat 30, beliau menegaskan, "Allah menegaskan 2 kehendak sekaligus; KehendakNya dan kehendak hamba. Allah juga menegaskan bahwa Kehendak hamba tetap berada dalam kendali Allah." Beliau juga menerangkan, "Mengandalkan usaha (sebab) termasuk syirik yang menciderai tauhid. Sedang tidak menganggap dan tidak mengakui fungsi usaha (sebab) termasuk kerancuan dan kesalahan rasio. Meninggalkan usaha (sebab) yang dianggap dan diperintahkan syar'iat juga menciderai syari'at itu sendiri. Karenanya, hati hamba harus selalu mengandalkan Allah; bukan terpesona terhadap fungsi usaha. Allah akan mengatur fungsi usaha yang berefek pada perbaikan dunia dan akhirat. Jika usaha tersebut telah diatur dan memang diperintahkan oleh Allah, dia melaksanakannya dengan penuh tawakkal; ketika kewajiban itu dilaksanakan. Tatkala sedang menghadapi musuh, menenteng senjata, memakai pakaian perang; tidak cukup dengan tawakkal tanpa melakukan hal-hal yang dianjurkan agar bisa memenangkan jihad. Siapa pun tidak berusaha sesuai dengan perintah maka dia  tergolong orang lemah, tercela dan  lalai."

Sikap Mukmin Terhadap Takdir.

Ibnu Taimiyah menulis, "Hamba memiliki 2 kondisi terhadap ketetapan alam (iradah kauniyah). Kondisi dan sikap sebelum terjadinya ketentuan takdir dan sikap setelah terjadinya. Sebelum terjadinya takdir dan kajadian alam hendaknya ia terus memohon bantuan Allah dan tawakkal kepadaNya sambil banyak berdoa. Jika takdir alam terjadi di luar kendalinya maka hendaknya ia bersabar atau menerima dengan lapang dada. jika termasuk dalam kategori usahanya; dan itu baik maka dia bersyukur dan memuji Allah. Jika itu terhitung dosa maka harusnya ia Istighfar. Dalam hal aturan dan perintah syari'at (iradah syar'iyyah) juga terdapat dua kondisi. Saat sebelum terjadi dia harus berazam untuk melaksanakan perintah tersebut disertai permohonan kemudahan dari Allah (isti'anah). Dan masa setelah kejadian berupa Istighfar atas segala kekurangan dan bersyukur atas nikmat kebaikan yang diberikan padanya."

Berargumen dengan Takdir dalam Maksiat.

Qadariyah dengan kesimpulannya menyerupai Majusi karena menegaskan adanya pihak lain yang mengadakan keburukan di luar Kehendak, kekuasaan dan penciptaan Allah. Sedang Jabariah mirip dengan kaum pagan yang berkata, kalau Allah mau, tentu kami tidak melakukan kesyirikan bersama nenek moyang kami". Mereka inilah yang beralasan dengan takdir dalam melagalisasi maksiat. Bahkan mereka juga menghapus tugas kehambaan (taklif) dengan alasan takdir; persis seperti kalangan kaum kafir. Mereka menolak pengarahan nabi yang datang untuk menyampaikan perintah dan larangan Allah. 

Intinya, keimanan kepada masalah takdir berarti kesiapan melaksanakan perintah, menghindari larangan dan sikap lapang dada terhadap ketentuan alam semesta yang terjadi (sabar). 

Takdir Tertutup dan Takdir Terbuka.

Takdir yang masih bersifat rahasia (tertutup) adalah ketetapan alam  yang Allah takdirkan terjadi pada diri kita yang harus diimani dalam konsep kepercayaan kepada qadha dan Qadar; yang baik maupun yang buruk. Di sini, rasio kita menyerah tanpa mampu mengerti rahasia ini. Cukuplah sikap menerima dg penuh kesabaran. 

Sedang takdir yang sudah dibukakan rahasianya oleh Allah kita jadikan bukti penguat akan kehebatan Allah yang luar biasa. Akhirnya, tiada kata yang pantas kita sebutkan Kecuali, tiada apapun yang Engkau ciptakan yan tidak berhikmah yaa Allah. Didiklah hamba menuju cinta dan ridhaMu. Kerena itulah kenikmatan terbesar di dunia akhirat. Aamiin.

Turki, 10 November 2019.

Diolah dari kitab an-Naz'ah al-Maddiyah fi al-Alam al-islami, karya Adil at-Tal

 

Amalan Pahalanya Berlipat

Oleh: Sulaiman bin Shalih al Kharasyi
Penerjemah: Farid bin Muhammad al-Bathothy

Setiap orang muslim diantara kita tentu menginginkan berumur panjang supaya bertambah kebaikannya. Seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tatkala beliau ditanya:  Siapakah orang yang paling baik itu? Beliau menjawab:

“Yaitu orang yang panjang umurnya dan baik amalannya.” (HR. Tirmidzi dan Ahmad).

Kehidupan di dunia ini merupakan tempat untuk menambah dan memperbanyak amalan-amalan yang baik agar manusia senang setelah kematian serta rela dengan apa yang ia kerjakan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberitahukan bahwa umur umatnya ini antara enam puluh sampai tujuh puluh tahun, mereka tidak seperti umur-umur umat sebelumnya. Akan tetapi Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam telah menunjukkan mereka kepada perbuatan maupun ucapan yang dapat mengumpulkan pahala yang banyak dengan amalan yang sedikit lagi mudah, yang dapat menggantikan manusia dari tahun-tahun yang berlalu kalau dibandingkan dengan umat-umat sebelumnya. Dan inilah yang dinamakan dengan “Al-A’maal Al-Mudha’afah” (amalan-amalan yang pahalanya berlipat ganda) yang tidak semua orang mengetahuinya.

Oleh karena itu saya hendak menyebutkan sebagian besar dari padanya pada tulisan yang singkat ini. Dengan harapan agar setiap orang diantara kita menambah umurnya (dengan amalan) yang produktif dalam kehidupan dunia ini. Agar tergolong dari orang-orang yang mengerti (untuk mengambil) selanya. (Kata pepatah): “Darimanakah bahu itu di makan”. Maka mereka memilih dari amalan-amalan tersebut mana yang paling ringan (dikerjakan) oleh jiwa dan paling besar pahalanya. Orang seperti ini bagaikan orang yang mengumpulkan permata-permata yang berharga dari dasar laut sementara manusia yang lain (hanya) mendapatkan ombaknya saja.

Berikut ini akan kami sebutkan amalan-amalan maupun ucapan-ucapan secara berurutan dan singkat, dengan disertai dalil dari setiap ucapan atau amalan yaitu dalil-dalil dari Kitabullah atau dari hadits-hadits yang shahih dan hasan. Allah-lah Yang Maha Pemberi taufiq untuk setiap kebaikan.

1. Silaturrahim
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:

“Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezekinya, dipanjangkan umurnya, maka hendaknya menyambung (tali) silaturrahimnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

2. Berakhlaq yang mulia
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda yang artinya:

“Silaturrahim, berbudi mulia dan ramah pada tetangga (dapat) mendirikan kabilah dan menambah umur.” (HR. Ahmad dan Baihaqi).

3. Memperbanyak shalat di Haramain Syarifain
Berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Shalat di masjidku ini (Masjid Nabawi) lebih baik dari seribu (shalat) daripada yang lain kecuali Masjidil Haram, dan shalat di Masjid haram itu lebih baik dari seratus ribu (shalat) daripada yang lain.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

4. Shalat berjama’ah bersama imam
Berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Shalat berjama’ah itu lebih baik daripada shalat sendiri dengan dua puluh tujuh derajat.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Adapun perempuan shalat di rumah, dan hal itu lebih baik daripada mereka shalat di masjid, walaupun di Masjid nabawi. Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ummu Humaid-salah satu dari shahabiyat- yang artinya:

“Aku tahu bahwa kamu senang shalat bersamaku, tapi shalatmu di rumahmu itu lebih baik bagimu daripada shalatmu di kamarmu. Dan shalatmu di kamarmu itu lebih baik bagimu daripada shalatmu di tempat tinggalmu. Dan shalatmu di tempat tinggalmu lebih baik bagimu daripada shalatmu di Masjidku.” (HR. Ahmad).

Lalu setelah ini beliau Radhiyallahu ‘anha shalat di penghujung rumahnya di tempat yang gelap sampai beliau menemui ajalnya.

5. Melaksanakan shalat nafilah (sunnah) di rumah
Berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Keutamaan shalat seorang laki-laki di rumahnya dengan shalat yang dilihat oleh orang banyak seperti halnya keutamaan shalat fardhu atas shalat sunnah.” (HR. Baihaqi dan dishahihkan olah Albani).

Bukti yang menguatkan hal itu juga sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shahih:

“Sebaik-baik shalat seseorang adalah di rumahnya kecuali shalat wajib.” (HR. Bukhari dan Muslim).

6. Berhias dengan beberapa adab pada hari Jum’at
Yaitu yang terdapat pada sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Barangsiapa yang mandi (janabat) pada hari Jum’at kemudian berangkat di awal waktu, mendapatkan khutbah pertama, berjalan kaki tidak naik kendaraan, mendekat dari imam, mendengarkan khutbah dan tidak berbicara maka baginya setiap langkahnya adalah (bagaikan) amalan setahun dari pahala puasa dan shalat (taraweh)nya.” (HR. Ahlus Sunan).

Arti: “Ghassala” adalah membasuh kepalanya, dan ada yang mengartikan: “Menggaulinya isterinya agar matanya tidak melihat yang haram pada hari itu. Sedang arti: “Bakkara” adalah berangkat (ke masjid) di awal waktu. Dan “Ibtikara” adalah mendapatkan khutbah pertama.

7. Shalat Dhuha
Berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Bila masuk waktu pagi maka setiap jari-jari tangan kamu ada kewajiban shadaqah, lalu setiap (bacaan) tasbih adalah shadaqah, tahmid adalah shadaqah, tahlil adalah shadaqah, takbir adalah shadaqah, amar ma’ruf adalah shadaqah, nahi mungkar adalah shadaqah, dan cukup dari itu semuanya dengan shalat dua raka’at waktu Dhuha.” (HR. Muslim).

Makna: “Sulamaa” adalah lipatan-lipatan organ tubuh seseorang yang berjumlah 360 lipatan/engsel. Dan sebaik-baik waktu shalat Dhuha itu tatkala matahari sangat panas, berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Shalat orang-orang yang bertaubat itu ketika anak unta itu terasa sangat panas.” HR. Muslim).

Maksudnya: tatkala anak unta itu berdiri dari tempatnya karena terik matahari yang sangat panas.

8. Menghajikan orang lain atas biayanya setiap setahun
Berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Kerjakanlah haji dan umrah itu berturut-turut, karena sesungguhnya ia (dapat) menghilangkan kefaqiran dan dosa seperti ubupan (alat peniup api) tukang besi yang menghilangkan karat besi, emas dan perak.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Albani).

Dan kadang-kadang seseorang tidak bisa melakukan haji setiap tahun, oleh karena itu hendaknya ia menghajikan orang –atas biayanya- yang mampu badannya (dalam mengadakan perjalanan ke Baitullah).

9. Shalat setelah terbitnya matahari
Berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Barangsiapa shalat subuh dengan berjama’ah kemudian ia duduk sambil berdzikir kepada Allah sampai terbitnya matahari lalu shalat dua raka’at maka baginya seperti ibadah haji dan umrah yang sempurna, yang sempurna, yang sempurna.” (HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Albani).

10. Menghadiri halaqah-halaqah ilmu di masjid
Berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Barangsiapa yang berangkat ke masjid dia tidak menginginkan kecuali untuk belajar sesuatu kebaikan atau mengajarinya maka baginya adalah seperti pahala orang yang beribadah haji dengan sempurna.” (HR. Ath-Thabrani dan dishahihkan oleh Albani).

11. Melaksanakan umrah pada Bulan Ramadhan
Berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Umrah di Bulan Ramadhan sama dengan haji bersamaku.” (HR. Bukhari).

12. Melaksanakan shalat lima waktu di masjid
Berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Barangsiapa keluar dari rumahnya dalam keadaan suci untuk shalat fardhu maka pahalanya seperti haji.” (HR. Abu Daud dan dishahihkan olah Albani).

Dan yang lebih utama agar keluar dari rumahnya sudah dalam keadaan suci, bukan bersuci di toilet masjid kecuali dalam keadaan terpaksa dan darurat.

13. Hendaknya berada di shaf yang pertama
Berdasarkan ucapan “irbadh bin sariyah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memintakan ampunan (kepada Allah) bagi orang yang berada di shaf yang pertama tiga kali, dan shaf yang kedua satu kali. (HR. an-Nasai dan Ibnu Majah).

Dan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam juga yang artinya:

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya membacakan shalawat kepada orang-orang yang ada di shaf pertama.” (HR. Ahmad dengan sanad yang baik).

14. Shalat di Masjid Quba
Berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Barangsiapa yang bersuci dari rumahnya kemudian ia datang ke Masjid Quba lalu shalat di dalamnya maka baginya seperti pahala umrah.” (HR. an-Nasai dan Ibnu Majah).

15. Menjadi Tukang Adzan
Berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Tukang adzan itu akan diampuni (dosanya) sepanjang suaranya (terdengar), dan dibenarkan oleh orang yang mendengarkannya baik basah maupun kering dan juga baginya pahala orang yang shalat bersamanya.” (HR. Ahmad dan an-Nasai).

Apabila anda tidak dapat menjadi tukang adzan itu maka paling tidak anda harus mendapatkan pahala yang setimpal dengannya, yaitu:

16. Untuk mengucapkan seperti yang dikatakan oleh tukang adzan itu
Berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Katakanlah seperti yang dikatakan oleh muadzin, bila kamu sudah selesai maka mohonlah (kepada Allah) niscaya dia akan memberimu.” (HR. Abu Daud dan an-Nasai).

Maksudnya: memohonlah setelah kamu selesai menjawab muadzin itu.

17. Puasa Ramadhan dan enam hari di Bulan Syawwal setelahnya
Berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Barangsiapa Puasa Ramadhan kemudian diikuti enam hari di Bulan Syawwal maka (pahalanya) seperti puasa setahun.” (HR. Muslim).

18. Puasa tiga hari setiap bulan (tanggal: 13, 14 dan 15 Bulan Qomariyah)
Berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Barangsiapa puasa tiga hari dari setiap bulan maka itulah (pahalanya seperti) puasa setahun.” Kemudian Allah menurunkan firman-Nya sebagai pembenaran dalam kitab-Nya yang artinya: “Barangsiapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.” (QS. Al An’am:160). Satu hari sama dengan sepuluh hari (HR. at-Tirmidzi).

19. Memberi makanan untuk berbuka puasa bagi orang-orang yang berpuasa
Berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Barangsiapa yang memberikan makanan untuk berbuka puasa bagi orang yang berpuasa maka baginya seperti pahalaya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala orang yang berpuasa itu.” (HR. at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).

20. Shalat pada malam Lailatul Qadr
Berdasarkan firman Allah Ta’ala yang artinya:

“Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan.” (QS. Al-Qadr:3).

Maksudnya: lebih baik daripada ibadah selama 83 tahun kira-kira.

21. Jihad
Berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Kedudukan seseorang dalam shaf (jihad) fi sabilillah lebih baik daripada ibadah enam puluh tahun.” (HR. Hakim dan dishahihkan oleh Albani).

Dan ini merupakan keutamaan kedudukan/posisi dalam shaf (jihad), lalu bagaimana dengan orang yang berjihad fi sabilillah dalam tempo berhari-hari, berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun?

22. Ar Ribath (bersiap siaga di perbatasan musuh)
Berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Barangsiapa yang tetap bersiap siaga (diperbatasan musuh) fi sabilillah dalam satu hari satu malam maka baginya pahala seperti puasa satu bulan penuh dengan shalat malamnya. Dan barang siapa yang meninggal dalam keadaan bersiap siaga maka baginya seperti itu juga pahalanya, dan ia diberikan rezeki serta diamankan dari fitnah.” (HR. Muslim).

Yang dimaksud dengan “fitnah” disini adalah siksa kubur.

23. Amal shalih pada sepuluh Dzulhijjah
Berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Tidak ada hari dimana amal shalih dalam sepuluh (Dzulhijjah) lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari lainnya.” Para shahabat bertanya: Wahai Rasulullah, juga tidak jihad di jalan Allah? Beliau menjawab: Juga tidak jihad di jalan Allah, kecuali orang yang mengeluarkan dengan harta dan jiwanya sementara ia tidak kembali sedkitpun.” (HR. Bukhari).

24.Mengulang-ulangi beberapa surat Al-Qur’an
Berdasarkan sabdanya Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Surat al-Ikhlash sama dengan sepertiga al-qur’an dan surat al-Falaq sama dengan seperempat al-Qur’an.” (HR. ath-Thabarani dan dishahihkan olah Albani).

25. Berdzikir yang pahalanya berlipat ganda dan hal ini banyak (macamnya)
Diantaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika keluar dari (rumah isterinya) Juwairiyah Ummul Mu’minin Radhiyallahu ‘anha disaat pagi hari ketika beliau shalat subuh sedang dia berada di tempat shalatnya. Kemudian Rasulullah pulang setelah shalat dhuha sementara Ummul mu’minin sedang duduk (di tempat shalatnya), seraya beliau bertanya: “Masihkah engkau dalam keadaan yang tatkala aku tinggalkan?” Ummul mu’minin menjawab: Ya, benar. Lalu beliau bersabda:

“Aku telah mengucapkan empat kalimat tiga kali setelahmu seandainya kalimat-kalimat itu ditimbang dengan apa yang kamu ucapkan mulai hari ini pasti (kalimat-kalimat itu) akan lebih berat, yaitu: “Subhaanallahi wa bihamdihi ‘adada khalqihi waridhaanafsihi wazinata’arsihi wamidaada kalimaatihi: maha suci Allah dan segala puji bagi-Nya, Yang menghitung ciptaan-Nya, Yang ridha dengan Dzat-Nya, berat ‘arsi-Nya dan tinta kalimat-kalimat-Nya.” (HR. Muslim).

Dari Abu Umamah Radhiyallahu ‘anhu berkata: nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam melihatku dan aku sedang menggerakkan bibirku lalu beliau bertanya: “Apa yang kamu ucapkan wahai Abu Umamah? Saya menjawab: Saya berdzikir dan menyebut Allah. Kemudian (beliau mengajariku) lalu bersabda:

“Maukah kamu aku tunjukkan kepada yang lebih banyak (pahalanya) dalam berdzikir kepada Allah di siang hari dan malam hari? Maka ucapkanlah: “Walhamdulillahi mil amaa ahshaa kitaabahu, walhamdulillahi ‘adada kulla syay in, walhamdulillahi mil a kulla syay in: segala puji bagi Allah Yang Menghitung apa yang diciptakan-Nya, segala puji bagi-Nya sepenuh apa yang diciptakan-Nya, segala puji bagi-Nya yang Menghitung apa yang (terdapat) dalam langit dan bumi, segala puji bagi-Nya Yang menghitung apa yang (termaktub) dalam kitab-Nya, segala puji bagi-Nya sepenuh apa yang (termaktub) dalam kitab-Nya, segala puji bagi-Nya Yang Menghitung segala sesuatu, dan segala puji bagi-Nya sepenuh segala sesuatu.”
“Dan hendaklah kamu bertasbih kepada Allah seperti itu” Lalu beliau meneruskan sabdanya: “Pelajarilah (do’a-do’a ini) dan ajarilah orang-orang setelahmu.” (HR. ath-Thabarani dan dishahihkan oleh Albani).

26. Istighfar yang berlipat ganda
Berdasarkan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Barangsiapa yang memintakan ampunan bagi orang-orang mu’minin maupun mu’minah Allah akan menulis dari seperti mu’minin maupun mu’minah sebagai satu kebajikan.” (HR. ath-Thabarani dan dishahihkan oleh Albani).

27. Melaksanakan kepentingan manusia
Berdasarkan sabda Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Sesungguhnya bila aku berjalan dengan saudaraku muslim untuk memenuhi suatu hajatnya lebih saya cintai daripada saya beri’tikaf di masjid selama satu bulan.” (HR. Ibnu Abi Dun-yaa dan dihasankan oleh Albani).

28. Perbuatan-perbuatan yang pahalanya senantiasa mengalir sampai setelah mati
Yaitu yang dijelaskan dalam hadits Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Ada empat macam pahala yang selalu mengucur (walaupun) setelah meninggal: “Seseorang yang selalu siap siaga (di perbatasan musuh) di jalan Allah, seseorang yang mengajarkan suatu ilmu maka pahalanya akan selalu mengucur selama ilmu itu diamalkan, seseorang yang memberi shadaqah maka pahalanya akan selalu mengucur (kepadanya) selama (shadaqah tersebut) dipergunakan dan seorang ayah yang meninggalkan anak yang shalih yang mendo’akan kepadanya.” (HR. Ahmad dan Thabrani).

29. Mempergunakan waktu
Hendaknya seorang muslim menggunakan waktunya dengan ketaatan (kepada Allah). Seperti membaca al-Qur’an, berdzikir, ibadah, mendengarkan kaset-kaset yang bermanfaat agar waktunya tidak sia-sia belaka agar ia tidak dilalaikan dimana saat itu tidak bermanfaat lagi kelalaian, seperti yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam yang artinya:

“Dua nikmat yang (sering) dilupakan oleh kebanyakan orang, yaitu: kesehatan dan kekosongan (waktu).” (HR. Bukhari).

Allah-lah yang Maha Memberikan taufiq kepada kita semua agar umur kita dipanjangkan oleh-Nya dalam kebaikan. Dan dapat mempergunakan kesempatan-kesempatan yang berlipat ganda (pahalanya) dimana kebanyakan orang melalaikannya.

 

Istiqamah dalam 5 Ibadah sunnah

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Amalan yang terbaik adalah yang ajeg (kontinu) walau jumlahnya sedikit. Begitu pula dalam shalat sunnah, beberapa di antaranya bisa kita jaga rutin karena itulah yang dicintai oleh Allah. Apa saja amalan shalat sunnah tersebut? Berikut kami sebutkan keutamaannya, semoga membuat kita semangat untuk menjaga dan merutinkannya.

Pertama: Shalat Sunnah Rawatib

Mengenai keutamaan shalat sunnah rawatib diterangkan dalam hadits berikut ini. Ummu Habibah berkata bahwa ia mendengar Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى اثْنَتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ بُنِىَ لَهُ بِهِنَّ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ

Barangsiapa yang mengerjakan shalat 12 raka’at (sunnah rawatib) sehari semalam, akan dibangunkan baginya rumah di surga.” (HR. Muslim no. 728)

Dalam riwayat At Tirmidzi sama dari Ummu Habibah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى فِى يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بُنِىَ لَهُ بَيْتٌ فِى الْجَنَّةِ أَرْبَعًا قَبْلَ الظُّهْرِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ الْعِشَاءِ وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلاَةِ الْفَجْرِ

Barangsiapa sehari semalam mengerjakan shalat 12 raka’at (sunnah rawatib), akan dibangunkan baginya rumah di surga, yaitu: 4 raka’at sebelum Zhuhur, 2 raka’at setelah Zhuhur, 2 raka’at setelah Maghrib, 2 raka’at setelah ‘Isya dan 2 raka’at sebelum Shubuh.” (HR. Tirmidzi no. 415 dan An Nasai no. 1794, kata Syaikh Al Albani hadits ini shahih).

Yang lebih utama dari shalat rawatib adalah shalat sunnah fajar (shalat sunnah qobliyah shubuh).  ‘Aisyah berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

Dua rakaat sunnah fajar (subuh) lebih baik dari dunia dan seisinya.”  (HR. Muslim no. 725)

Juga dalam hadits ‘Aisyah yang lainnya, beliau berkata,

لَمْ يَكُنْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى شَيْءٍ مِنْ النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَيْ الْفَجْرِأخرجه الشيخان

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan satu pun shalat sunnah yang kontinuitasnya (kesinambungannya) melebihi dua rakaat (shalat rawatib) Shubuh.” (HR. Bukhari no. 1169 dan Muslim no. 724)

Kedua: Shalat Tahajud (Shalat Malam)

Allah Ta'ala berfirman,

أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ آَنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآَخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ

(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. ” (QS. Az Zumar: 9). Yang dimaksud qunut dalam ayat ini bukan hanya berdiri, namun juga disertai dengan khusu' (Lihat Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 12: 115). Salah satu maksud ayat ini, “Apakah sama antara orang yang berdiri untuk beribadah (di waktu malam) dengan orang yang tidak demikian?!” (Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 7/166). Jawabannya, tentu saja tidak sama.

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ

Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah –Muharram-. Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah)

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِيْنَ قَبْلَكُمْ وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَنْهَاةٌ عَنِ الإِثْمِ

Hendaklah kalian melaksanakan qiyamul lail (shalat malam) karena shalat amalan adalah kebiasaan orang sholih sebelum kalian dan membuat kalian lebih dekat pada Allah. Shalat malam dapat menghapuskan kesalahan dan dosa. ” (Lihat Al Irwa' no. 452. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Mu'adz bin Jabal radhiyallahu 'anhu berkata, "Shalat hamba di tengah malam akan menghapuskan dosa." Lalu beliau membacakan firman Allah Ta'ala,

تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ

"Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya, ..." (HR. Imam Ahmad dalam Al Fathur Robbani 18/231. Bab "تَتَجَافَى جُنُوبُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ ")

'Amr bin Al 'Ash radhiyallahu 'anhu berkata, "Satu raka'at shalat malam itu lebih baik dari sepuluh rakaat shalat di siang hari." (Disebutkan oleh Ibnu Rajab dalam Lathoif Ma'arif 42 dan As Safarini dalam Ghodzaul Albaab 2: 498)

Ibnu 'Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata, "Barangsiapa yang shalat malam sebanyak dua raka'at maka ia dianggap telah bermalam karena Allah Ta'ala dengan sujud dan berdiri." (Disebutkan oleh An Nawawi dalam At Tibyan 95)

Ada yang berkata pada Al Hasan Al Bashri , "Begitu menakjubkan orang yang shalat malam sehingga wajahnya nampak begitu indah dari lainnya." Al Hasan berkata, "Karena mereka selalu bersendirian dengan Ar Rahman -Allah Ta'ala-. Jadinya Allah memberikan di antara cahaya-Nya pada mereka."

Abu Sulaiman Ad Darini berkata, "Orang yang rajin shalat malam di waktu malam, mereka akan merasakan kenikmatan lebih dari orang yang begitu girang dengan hiburan yang mereka nikmati. Seandainya bukan karena nikmatnya waktu malam tersebut, aku tidak senang hidup lama di dunia." (Lihat Al Lathoif 47 dan Ghodzaul Albaab 2: 504)

Imam Ahmad berkata, "Tidak ada shalat yang lebih utama dari shalat lima waktu (shalat maktubah) selain shalat malam." (Lihat Al Mughni 2/135 dan Hasyiyah Ibnu Qosim 2/219)

Tsabit Al Banani berkata, "Saya merasakan kesulitan untuk shalat malam selama 20 tahun dan saya akhirnya menikmatinya 20 tahun setelah itu." (Lihat Lathoif Al Ma'arif 46). Jadi total beliau membiasakan shalat malam selama 40 tahun. Ini berarti shalat malam itu butuh usaha, kerja keras dan kesabaran agar seseorang terbiasa mengerjakannya.

Ada yang berkata pada Ibnu Mas'ud, "Kami tidaklah sanggup mengerjakan shalat malam." Beliau lantas menjawab, "Yang membuat kalian sulit karena dosa yang kalian perbuat." (Ghodzaul Albaab, 2/504)

Lukman berkata pada anaknya, "Wahai anakku, jangan sampai suara ayam berkokok mengalahkan kalian. Suara ayam tersebut sebenarnya ingin menyeru kalian untuk bangun di waktu sahur, namun sayangnya kalian lebih senang terlelap tidur." (Al Jaami' li Ahkamil Qur'an 1726)

Ketiga: Shalat Witir

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اجْعَلُوا آخِرَ صَلاَتِكُمْ بِاللَّيْلِ وِتْرً

Jadikanlah akhir shalat malam kalian adalah shalat witir.” (HR. Bukhari no. 998 dan Muslim no. 751)

Keempat: Shalat Dhuha

Dari Abu Dzar, Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda,

يُصْبِحُ عَلَى كُلِّ سُلاَمَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ فَكُلُّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلُّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَيُجْزِئُ مِنْ ذَلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَى

Pada pagi hari diharuskan bagi seluruh persendian di antara kalian untuk bersedekah. Setiap bacaan tasbih (subhanallah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahmid (alhamdulillah) bisa sebagai sedekah, setiap bacaan tahlil (laa ilaha illallah) bisa sebagai sedekah, dan setiap bacaan takbir (Allahu akbar) juga bisa sebagai sedekah. Begitu pula amar ma’ruf (mengajak kepada ketaatan) dan nahi mungkar (melarang dari kemungkaran) adalah sedekah. Ini semua bisa dicukupi (diganti) dengan melaksanakan shalat Dhuha sebanyak 2 raka’at.” (HR. Muslim no.  720)

Padahal persendian yang ada pada seluruh tubuh kita sebagaimana dikatakan dalam hadits dan dibuktikan dalam dunia kesehatan adalah 360 persendian. ‘Aisyah pernah menyebutkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّهُ خُلِقَ كُلُّ إِنْسَانٍ مِنْ بَنِى آدَمَ عَلَى سِتِّينَ وَثَلاَثِمَائَةِ مَفْصِلٍ

Sesungguhnya setiap manusia keturunan Adam diciptakan dalam keadaan memiliki 360 persendian.” (HR. Muslim no. 1007)

Hadits ini menjadi bukti selalu benarnya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sedekah dengan 360 persendian ini dapat digantikan dengan shalat Dhuha sebagaimana disebutkan pula dalam hadits berikut,

أَبِى بُرَيْدَةَ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « فِى الإِنْسَانِ سِتُّونَ وَثَلاَثُمِائَةِ مَفْصِلٍ فَعَلَيْهِ أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْ كُلِّ مَفْصِلٍ مِنْهَا صَدَقَةً ». قَالُوا فَمَنِ الَّذِى يُطِيقُ ذَلِكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « النُّخَاعَةُ فِى الْمَسْجِدِ تَدْفِنُهَا أَوِ الشَّىْءُ تُنَحِّيهِ عَنِ الطَّرِيقِ فَإِنْ لَمْ تَقْدِرْ فَرَكْعَتَا الضُّحَى تُجْزِئُ عَنْكَ »

Dari Buraidah, beliau mengatakan bahwa beliau pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia memiliki 360 persendian. Setiap persendian itu memiliki kewajiban untuk bersedekah.” Para sahabat pun mengatakan, “Lalu siapa yang mampu bersedekah dengan seluruh persendiannya, wahai Rasulullah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan, “Menanam bekas ludah di masjid atau menyingkirkan gangguan dari jalanan. Jika engkau tidak mampu melakukan seperti itu, maka cukup lakukan shalat Dhuha dua raka’at.” (HR. Ahmad, 5: 354. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini shahih ligoirohi)

Imam Nawawi mengatakan,  “Hadits dari Abu Dzar adalah dalil yang menunjukkan keutamaan yang sangat besar dari shalat Dhuha dan menunjukkannya kedudukannya yang mulia. Dan shalat Dhuha bisa cukup dengan dua raka’at.” (Syarh Shahih Muslim, 5: 234)

Asy Syaukani mengatakan,  “Hadits Abu Dzar dan hadits Buraidah menunjukkan keutamaan yang luar biasa dan kedudukan yang mulia dari Shalat Dhuha. Hal ini pula yang menunjukkan semakin disyari’atkannya shalat tersebut. Dua raka’at shalat Dhuha sudah mencukupi sedekah dengan 360 persendian. Jika memang demikian, sudah sepantasnya shalat ini dapat dikerjakan rutin dan terus menerus.” (Nailul Author, 3: 77)

Kelima: Shalat Isyroq

Shalat isyroq termasuk bagian dari shalat Dhuha yang dikerjakan di awal waktu. Waktunya dimulai dari matahari setinggi tombak (15 menit setelah matahari terbit) setelah sebelumnya berdiam diri di masjid selepas shalat Shubuh berjama’ah. Dari Abu Umamah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى صَلاةَ الصُّبْحِ فِي مَسْجِدِ جَمَاعَةٍ يَثْبُتُ فِيهِ حَتَّى يُصَلِّيَ سُبْحَةَ الضُّحَى، كَانَ كَأَجْرِ حَاجٍّ، أَوْ مُعْتَمِرٍ تَامًّا حَجَّتُهُ وَعُمْرَتُهُ

Barangsiapa yang mengerjakan shalat shubuh dengan berjama'ah di masjid, lalu dia tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan shalat sunnah Dhuha, maka ia seperti mendapat pahala orang yang berhaji atau berumroh secara sempurna.” (HR. Thobroni. Syaikh Al Albani dalam Shahih Targhib 469 mengatakan bahwa hadits ini shahih ligoirihi/ shahih dilihat dari jalur lainnya)

Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

« مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ ». قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ »

Barangsiapa yang melaksanakan shalat shubuh secara berjama'ah lalu ia duduk sambil berdzikir pada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat dua raka'at, maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umroh.” Beliau pun bersabda, “Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.” (HR. Tirmidzi no. 586. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

QISTH AL HINDI EFEKTIF BUAT PENGOBATAN COVID -19 Assa'uth dengan qusthul hindi dan qusthul bahri حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ الْفَضْلِ أَخْ...